Sebelum membahas lebih lanjut sekedar informasi supaya kita sebagai
muslim bisa berhati-hati sebelum melakukan perbuatan. Sebab, berdasarkan
kaidah fiqih dalam ajaran agama Islam, bahwa hukum asal suatu perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara (sayriat Islam). Itu sebabnya,
sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan
tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang dibolehkan, diwajibkan,
disunnahkan, diharamkan atau dihukumi sebagai makruh. Lalu apa hukumnya
merayakan tahun baru masehi bagi seorang Muslim? Jawaban singkatnya
adalah SSTBAH alias sangat sangat tidak boleh alias haram. TITIK.
Mengapa Tidak boleh atau HARAM?? Berikut penjelasannya.
Mengapa Tidak boleh atau HARAM?? Berikut penjelasannya.
Bahwa merayakan tahun baru masehi adalah bukan tradisi dari ajaran
Islam. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan
tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri larut dalam gemerlap
pesta kembang api atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat
tetap aja nggak lantas menjadikan tuh perayaan jadi boleh atau halal.
Sebab, ukurannya bukanlah banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi
patokannya kepada syariat.
Jadi, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya
berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain
dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya begini, menurut
catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang
membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal
bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika
mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus
Kristus.
Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama
Dionisius yang kemudian? memanfaatkan penemuan kalender dari Julius
Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun
kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah
kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang
berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk zaman
prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi).
Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang
sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya
sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa
Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi
siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi
dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nashrani. The
Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it
uses the birth of Jesus Christ as a starting date, demikian keterangan
dalam Encarta.
Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa
Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua-ini bukan munafik maksudnya,
tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan
dan belakang, depan bisa belakang bisa, kali ye?). Kemudian perayaan ini
terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi).
Seiring muncul dan berkembangnya agama Nashrani, akhirnya perayaan
ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan suci
sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan
Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.
Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun
baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi
sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nashrani. Jangankan yang
udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari
ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya serta
dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Mengapa?
Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai
hari-hari besar mereka adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
YANG ARTINYA
Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu (QS al-Furqaan 25:72)
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang
beriman. Ulama-ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi bin
Anas menafsirkan kata az-Zuura (di dalam ayat tersebut) sebagai
hari-hari besar orang kafir. Itu artinya, kalo sampe seorang muslim
merayakan tahun baru masehi berarti melakukan persaksian palsu terhadap
hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, kita
udah punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari
Anas bin Malik ra, dia berkata, saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (Ied) untuk
bermain-main. Lalu beliau bertanya, Dua hari untuk apa ini? Mereka
menjawab, Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah.
Lantas beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi
kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha
dan Iedul Fithri (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No.
11595, 13058, 13210)
Terus, boleh nggak sih kita merayakan tahun baru karena niatnya bukan
menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nashrani? Ya,
sekadar senang-senang aja gitu, sekadar refreshing deh. Hmm.. ada
baiknya kamu menyimak ucapan Umar Ibn Khaththab: Janganlah kalian
mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka
pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun
atas mereka (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640) Umar ra.
berkata lagi, Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar
mereka (ibid, No. 18641)
Dalam keterangan lain, seperti dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra,
dia berkata, Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu
membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka
hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan
pada hari kiamat bersama mereka (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud,
Syarh hadits no. 3512)
Nah, berkaitan dengan larangan menyerupai suatu kaum (baik ibadahnya, adat-istiadanya, juga gaya hidupnya), Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golongan mereka (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya jilid II, hlm. 50).
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang
berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan
mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti
mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan
mengikutinya.
Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i
adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya,
baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku
yang menunjukkan ciri khas mereka. Hmm.. catet ye!
Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati
Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari
Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1
Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan
dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin
Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang
permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka
pada masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama
bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama
tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari
bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga
saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya
tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan
hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa
membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling
tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai
aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah
hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada
engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam
timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو
السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى
الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان
اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله
عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى،
ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس
لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا
رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند
رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر. كتبه
محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Jawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau
tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya
adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu
ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam datang datang ke
Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang
mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari
ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira
padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut
dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat
kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian
penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan
ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun
(hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti
kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan
penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan
Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru
Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh,
karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at
Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul
Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan
orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru
Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan
memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun
Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
0 comments:
Post a Comment