Artikel ini saya kutip dari artikel Dr. Ranggar Almahendra. dalam artikelnya yang berjudul "Berangkat Studi Ke Luar Negeri, Kembali Membangun Negeri".
Sebelum era Perhimpunan Indonesia, kesadaran memperjuangkan martabat bangsa dari penjajahan boleh dikatakan hampir tidak pernah muncul. Perhimpunan Indonesia yang beranggotakan pemuda dan pelajar di luar negeri, mencoba membangunkan bangsa yang tertidur dan tak berdaya dibawah belenggu kolonialisme. kini, ketika tanda jaman mulai memnunjukan bentuk lain penjajahan, haruskah kita juga menunggu 350 tahun lagi untuk bangkit? ketika semuanya sudah terlambat . .
Kita kembali terjajah, bukan dalam bentuk agresi militer melalui matra darat, air dan udara, namun penjajahan gaya baru yang menyerang dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya. penjajahan bukan lagi dengan senjata dan angkatan perang, namun melalui instrumen corporatocracy yang diam-diam mulai menggerogoti sendi-sendi kedaulatan negara kita.
Corporatocracy bisa disejajarkan dengan terminologi plutocracy. Keduanya adalah bentuk pemeritahan yang dikendalikan oleh kepentingan suatu golongan pemilik modal. Plutocracy sendiri di Indonesia termanifestasi oleh pengusaha yang merapat ke pemerintah untuk memuluskan suatu urusan, atau sebaliknya, oknom pemerintah yang menggadaikan amanahnya untuk memperkaya diri atau mengamankan jabatannya.
Di indonesia pusaran kepentingan pengusaha dan pemerintah masih seputar perbutan kue untuk saling memanfaatkan atau mengambil keuntungan satu sama lain. Ketikapun kepentingan pemerintah dan bisnis bersatu, biasanya akan ada pihak ketiga yang dirugikan, entah itu buruh, kaum marginal atau mengorbankan lingkungan hidup. Namun berbeda dengan negara yang banyak memiliki perusahaan multi-nasional berorientasi global, dua kepentingan yang berbeda bisa melebur menjadi agenda nasional bersama untuk memperkaya aset dalam negeri, sekaligus mengekploitasi negara lain. Hal ini yang membuat skala dektruktif corporatocracy global jauh lebih berbahaya daripada plutocracy lokal.
Dalam buku Confession of Economic Hit Man, John Perkins memakai istilah Corporatocracy untuk menggambarkan imperium global Amerika yang dibangung atas tiga pilar kepentingan: perusahaan multi-nasional, politik-pemerintahan ditambah dukungan badan keuangan dunia (IMF, word bank) untuk "memperdaya" negara-negara miskin dan berkembang. Perkins dengan terang-terangan menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara korban kepentingan imperium Amerika itu.
Praktek corporatocracy dijelaskan dalam buku itu dalam skema yang sistematik. Pertama, Bank Dunia memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang dalam jumlah yang sangat besar, dana utang itu kemudian digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tendernya dikuasai oleh perusahaan Amerika sendiri. Membuat uang trilyunan dollar itu keluar dari kantong kiri dan masuk kembali lewat kantong kanan. Menjadikan perusahaan swasta itu semakin kaya dan tentunya Amerika semakin makmur.
Sementara negara korban terlilit oleh pokok utang dan bunga yang tiada terkira, rakyat masih saja tak bisa menikmati proyek pembangunan yang sudah tersunat disana-sini. Dalam hal ini, dua kali rakyat Indonesia menjadi korban. Pertama terhimpit corporatocracy oleh imperium global dan kedua plutocracy ulah pamong praja lokal.
Entah teori itu hanya isapan jempol atau tidak, namun fakta yang terjadi disekitar kita cukuplah untuk membuat kita gelisah. Hingga tahun 2009 , total utang Indonesia telah melampaui Rp 1600 trilyun. Untuk menutup defisit anggaran anggaran, satu persatu badan usaha milik negara strategis telah dijual. Serbuan gurita-gurita bisnis asing makin tak terbendung, dari Sabang sampai Merauke sudah bukan milik kita lagi. ExxonMobile beroperasi di ladang minyak terbesar di pulai jawa, Caltex meneruskan dominasinya di sumatra, Newmont masih menancapkan kukunya di sulawesi dan nusa tenggara. sementara Freeport di papua telah menaikkan kapasitas produksinya 300.000 ton perhari, meninggalkan hutan, sungai, gunung yang kini terbabat habis dan warga sekitar yang hidup dalam kemiskinan serta kelaparan. Bahkan lebih menyakitkan lagi, Freeport kini menjadu perusahaan pertambangan terbesar di dunia, setelah mengakusisi Phelp Dodge senilai USD 26 Milyar, dengan menjadikan kekayaan bumi papua sebagai collateral.
Tak terbendungnya corporatocracy global dalam 50 tahun ini, mengingatkan kita pada kejayaan VOC yang juga membutuhkan waktu setengah abad untuk menjadi perusahaan multi-nasional terkaya sejak didirikan 1602. Sejarah mencatat VOC sebagai perusahaan dagang yang luar biasa makmur hingga mampu membagikan deviden mencapai 4% untuk setiap lembar sahamnya. Namun dibalik, nama Indonesia, selaku tulang punggung jajahan VOC tetap saja tenggelam dan tak pernah diakui martabatnya.
Lebih dari 300 tahun kita membiarkan diri terzalimi, terlena tanpa ada kesadaran bahwa kita sedang dijajah. Baru kemudian 1908, sekumpulan anak muda terpelajar di luar negeri yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia mulai membangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semangat untuk menentukan nasib sendiri dan lepas dari penjajahan ini tertuang dakam Manifesto 1925 yang berbunyi:
1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri;
2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun dan;
3. Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai.
Resureksi semangat Manifesto 1925 inilah yang harus kita bangkitkan kembali untuk memperteguh kembali eksistensi generasi muda dalam menegakkan martabat dan kemandirian bangsa. Saatnya para pemuda dan pelajar di dalam dan luar negeri, bangkit kembali untuk memperjuangkan nurani, menyadarkan kita akan sebuah pertanyaan sederhana: kenapa kita harus selalu membungkuk dan tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri?
Bersama mari kita gelorakan semangat untuk mengantarkan kembali Indonesia merdeka. Membangunkan bangsa yang terlena. Mempersatukan unsur masyarakat yang tercerai. Karena kita, pemuda, motor penggerak dan penentu perjalan bangsa di masa datang.
Saturday, October 3, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment